Pandemik covid-19 ini menghasilkan dampak beragam terhadap sosial ekonomi berbagai lapisan masyarakat tak terkecuali para petani. Perubahan sosial dapat terlihat dengan adanya pandemik virus ini, dimana perubahan ini sesuatu yang jauh dari apa yang direncanakan bahkan suatu perubahan yang yang tidak diinginkan masyarakat (Hamid, 2016).

Dampak Covid-19 ini pun berimbas ke semua sektor terutama sektor ekonomi. Asian Development Bank (ADB) menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh hanya 2,5% pada tahun 2020 akibat virus ini, dan Bank Indonesia pun sama memprediksikan pertumbuhan ekonomi global mengalami penurunan dan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 sebesar 2,9%,  bahkan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang dikutip CNN Indonesia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan bahkan dalam kondisi terburuk bisa mengalami minus sampai 0,4%  kondisi ini dipicu karena sangat terjadinya penurunan investasi maupun konsumsi baik itu oleh rumah tangga maupun lembaga pemerintahan ataupun karena lemahnya kondisi lingkungan eksternal maupun lemahnya permintaan dalam negeri (ADB, 2020).

Kondisi anjloknya rupiah pun semakin memperburuk keadaan perekonomian di negara kita, hal ini diakibatkan karena semakin menurunnya kinerja pasar keuangan global, menurunnya permintaan dunia yang dampaknya terhadap kondisi konsumsi dan produksi barang dan jasa yang semakin menurun. Melihat kondisi demikian, Bank Indonesia terus melakukan koordinasi dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan monitoring dinamika penyebaran covid-19 dan dampaknya.

Sektor pertanian menjadi harapan baru bagi perekonomian yang kini terhempas di segala lini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih tumbuh 9,46% pada kuartal I 2020 dibandingkan kuartal sebelumnya (q to q).

Namun, laju pertumbuhannya hanya 0,02% bila dibandingkan dengan kuartal I tahun 2019 (year on year).  Sektor ini juga berkontribusi 12,84% terhadap PDB nasional sepanjang kuartal I 2020, terbesar ketiga setelah industri pengolahan dan perdagangan.

Pelaku agribisnis pun mengakui adanya peningkatan penjualan seiring dengan pandemi Covid-19 yang terdeteksi ada di Indonesia sejak Maret lalu. Salah satu sebuah platform online yang mengusung konsep bisnis farm-to-table mengklaim penjualannya meningkat sejak Maret. Beberapa perusahaan e-commerce tersebut mencatat kenaikan pemesanan lima kali lipat dibandingkan sebelum adanya pandemi Covid-19. 

Dari berbagai pengamat ekonomi dan usaha menyarankan dua hal agar pegiat agribisnis dan petani dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19. Pertama, ubah teknologi untuk menekan biaya produksi. Kedua, ubah sistem untuk menekan pengeluaran sekaligus mengatasi hambatan yang dialami, misalnya soal distribusi. 

Para pelaku usaha dan pelaku agribisnis jangan hanya mengharapkan bantuan pemerintah semata. “Jangan kira berhenti corona kita langsung main, enggak bisa. Kan pasar sudah ambyar. Pola-pola itu (kondisi pasar) harus diperbaiki”.

Agribisnis pangan bersinar, perkebunan meredup

Wakil Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suharyo Husen berpendapat, faktor perubahan iklim lebih mempengaruhi produksi pertanian dibandingkan pandemi virus corona.

“Kalau kita lihat masa corona ini konsumen perlu pangan, tetapi harganya harus terjangkau. Di sisi lain, naik-turunnya harga bergantung kepada supply dan demand ,” tuturnya kepada Alinea.id, Jumat (8/5).

Suharyo Husen melihat, agribisnis yang memproduksi bahan pangan seperti tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan berpotensi naik daun di tengah pandemi Covid-19. Belum lagi defisit bahan pangan masih terjadi di sejumlah daerah karena terganggunya distribusi barang. 

Siapkah hadapi normal baru?

Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Bayu Krisnamurthi mengatakan, kecepatan respon pemerintah dan masyarakat terhadap pandemi virus corona lebih besar dampaknya terhadap kegiatan usaha pertanian dibandingkan penyakit yang ditimbulkannya.

“Yang turun (selama pandemi) adalah permintaan konsumen. Makanan di hotel hilang. Restoran tidak ada. Katering pesta, rapat, dan buruh pabrik tidak beroperasi. Warung dan toko-toko makanan  tutup semua,” bebernya dalam telekonferensi, Jumat (8/5).

Di sisi lain, beberapa produk agribisnis mengalami peningkatan pemintaan selama Covid-19 seperti buah-buahan, sayuran, dan apotik hidup (jamu dan obat-obatan herbal) seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk menjalankan gaya hidup bersih dan sehat. Permintaan tersebut berasal dari konsumsi rumahan dan pemesanan secara daring (online).

“Kalau ada yang menyebutnya krisis pangan saya bertanya-tanya. Yang jelas ini krisis perdagangan, logistik ,dan transportasi. Produksi masih ada, tapi perdagangan dan logistik ini belum efektif. Kalau krisis terjadi, mungkin krisis pangan impor,” terang Mantan Wakil Menteri Perdagangan Periode 2011-2014 tersebut.

“Dimulai dari daya beli yang terganggu, dari situ yang harus kita jaga dalam agribisnis pangan. Jangan sampai supply side (sisi penawaran atau produksi) terganggu,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Bustanul menyarankan adanya integrasi sistem produksi dan konsumen pangan, penguatan kelembagaan kelompok tani, serta adaptasi bisnis modern seperti strategi pemasaran, merek produk, dan segmentasi konsumen. “Jangan-jangan memang harus dipicu oleh (pandemi) Covid ini,” ujarnya.

Diolah dari berbagai sumber:
https://www.alinea.id/bisnis/mampukah-bisnis-pertanian-ambil-peluang-di-era-pandemi-b1ZMW9uox
https://unma.ac.id/peluang-sektor-pertanian-dibalik-pandemik-covid-19/